“Tetapi pilihan dari pada 1.200 orang pada pemilih 205 juta, itu tidak menggambarkan itu. Ada caranya, tapi saya kira pasti tidak terlalu akurat. Itu trennya saja, memang trennya seperti itu,” kata dia.
Namanya juga elektabilitas. Semacam survey tren politik yang menurut saya nggak ada batasan atau target audience pengisi survey yang jelas.
Personal political commentary:
Sebenarnya secara apa yang saya perhatikan juga, yaa masuk akal juga kalau AB selalu terendah dalam survey elektabilitas. Di luar survey pun, secara materi narasi & kampanye, GP masih unggul dan masih punya potensi untuk mengunci suara pemilihan yang lumayan banyak.
Yaa lihat saja target audience-nya:
- GP menyasar kelompok emak-emak yang ini basisnya lumayan besar dalam skala nasional.
- AB menyasar kelompok orang-orang saintifik yang mengerucut ke pemilih suara yang tinggal di kota.
- PS menyasar kelompok remaja tapi di lapangan, PS ini sebagai “proxy” buat yang nggak mau Partai Banteng berkuasa lagi tapi juga nggak suka dengan gaya kepemimpinan AB.
Dari narasinya:
- GP membawa narasi untuk “bersih-bersih” preman pemerintah & korupsi.
- AB membawa narasi kesetaraan & keadilan.
Jelas, narasi kesetaraan & keadilan sosial itu jujur saja bagi saya mungkin kuat di kalangan scholar tapi kurang laku di masyarakat umum yang masih berkutat sama masalah korupsi.
“Tapi, waktu di DKI juga Anies terendah kan, nomor 3 kan, tapi kemudian dia terpilih. Itu lebih kecil kurang lebih 7 juta pemilih diwakili oleh 1.200. Apalagi 1200 yang disurvei dengan jumlah pemilih 205 juta itu kan tidak mudah membawa ke situ,”
Namun begitu, serendah-rendahnya AB di survey elektabilitas, ada benarnya juga dari pak JK. Bisa jadi yang elektabilitasnya rendah, tapi saat hari pemilihan, “the hidden voters” ini keluar, memilih suaranya dan mendongkrak angka.
(*) The hidden voters : Pemilih yang tidak terpilih/berpartisipasi dengan survey elektabilitas politik.
*CMIIW
deleted by creator